Indonesia, dengan keberagaman suku dan budayanya, telah melahirkan banyak produk budaya unik, salah satunya adalah wastra. Dalam bahasa Sansekerta, wastra berarti sehelai kain yang memiliki corak khusus dan makna tertentu.
Wastra sering kita kenal sebagai kain tradisional yang tidak hanya mengandung filosofi, tetapi juga simbol sejarah, budaya, dan tradisi suatu etnis.
Menurut Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada lebih dari 1.000 etnis di Nusantara yang menciptakan wastranya sendiri, menjadikan Indonesia rumah bagi wastra terbesar di dunia.
Dulu, wastra tidak hanya dimaknai sebagai pakaian. Selembar wastra mengandung simbol-simbol sebagai bentuk komunikasi yang diekspresikan lewat cara berpakaian. Batik, songket, sulam, dan ikat adalah beberapa produk wastra Nusantara.
Ada berbagai teknik dalam menciptakan wastra, salah satunya adalah tenun. Teknik tenun melibatkan penggabungan benang secara memanjang dan melintang. Benang vertikal pada tenun disebut benang lungsin, sedangkan benang horizontal disebut benang pakan. Kain tenun biasanya terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya.
Menurut perancang Indonesia yang ahli dalam wastra, Samuel Wattimena, tidak semua motif tenun menggunakan teknik ikat. Misalnya, songket ditenun dengan tangan menggunakan benang emas dan perak.
Sebelas Motif Khas
Salah satu produk tenun berbenang sutra adalah sarung sutra asal Suku Mandar di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Tenun sarung sutra Mandar telah diproduksi sejak abad ke-16 dan dikenal memiliki kualitas halus serta tidak mudah luntur. Sarung sutra Mandar dikenal juga dengan nama lipa saqbe Mandar.
Kain tenun ini pertama kali dibawa ke Indonesia oleh saudagar Arab dan Gujarat pada abad ke-14. Sarung sutra adalah kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga membentuk tabung.
Lipa saqbe Mandar memiliki dua ciri khas dalam motifnya: sure’ dan bunga. Sure’ adalah garis geometris sederhana yang merupakan motif klasik, sedangkan motif bunga adalah pengembangan dari sure’ dengan tambahan dekorasi flora dan fauna.
Motif-motif ini memiliki makna filosofis dari aspek sosial, religi, dan budaya. Menurut Abbas (2002) yang dikutip dalam riset “Kajian Proses Pembuatan Motif Tradisional Sarung Sutra Mandar Menggunakan ATBM” (Muslim, 2018), ada 11 motif sarung sutra Mandar: sure’ penghulu, sure’ mara’dia, sure’ puang limboro, sure’ puang lembang, sure’ batu dadzima, sure’ padzadza, sure’ salaka, sure’ gattung layar, sure’ penja, sure’ bandera, dan sure’ beru-beru.
Sarung sutra Mandar dengan motif sure’ kotak-kotak terdiri dari garis vertikal dan horizontal yang berpotongan, melambangkan aturan yang kuat dan tegas dalam masyarakat Mandar. Garis vertikal mencerminkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, sedangkan garis horizontal mencerminkan hubungan antar rakyat.
Keunikan lainnya adalah warna-warna cerah seperti kuning, merah, hijau, biru, hitam, cokelat, dan putih dengan desain geometris yang sederhana. Bahan baku sarung sutra Mandar menggunakan benang sutra, emas, dan perak, menjadikannya terlihat istimewa dan indah.
Tidak heran jika sarung sutra Mandar menjadi salah satu produk kain sutra paling halus di Nusantara. Sarung ini biasanya dipakai saat acara tertentu seperti pernikahan, upacara adat, upacara keagamaan, atau Salat Jumat di masjid.
Ajang Internasional
Proses pembuatan sarung sutra Mandar memakan waktu dua hingga tiga minggu per helai. Menurut Idham (2009), prosesnya meliputi pemilihan benang (bannang), pewarnaan (maccingga), pelilitan benang pada kaleng (manggalenrong), pemindahan benang ke bambu untuk dijadikan benang pakan (mappamaling), pengaturan benang lungsin untuk membuat sautan (sumau’), memasukkan benang lungsin ke dalam tandayang (mappatama), dan akhirnya menenun (manette).
Karena kualitasnya, sarung sutra Mandar sering dipamerkan di Indonesia Fashion Week (IFW), sebuah pagelaran mode busana tahunan berkelas internasional di Jakarta. Harganya berkisar dari Rp200 ribu hingga jutaan rupiah, dan dapat dibeli secara online dengan harga variatif.
Pelestarian dan promosi wastra sebagai warisan budaya sangat penting. Wastra bukan hanya sekadar kain, tetapi juga media komunikasi budaya yang memperkaya identitas bangsa. Melalui pameran dan promosi, wastra dapat dikenal lebih luas dan mendukung industri kreatif serta pariwisata Indonesia. Upaya menjaga dan mengembangkan wastra harus terus ditingkatkan agar warisan budaya ini tidak hilang ditelan zaman. Selain itu, promosi wastra di kancah internasional dapat meningkatkan apresiasi global terhadap kekayaan budaya Indonesia dan membuka peluang ekonomi yang lebih besar bagi para pengrajin lokal.