Kegiatan bertajuk “Literasi, Media Sosial, dan Antikekerasan” ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bijak dalam menggunakan media sosial serta menolak segala bentuk kekerasan. Inisiatif ini selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
Dalam pernyataan tertulis yang diterima oleh InfoPublik pada Selasa (17/9/2024), Pelaksana Harian (Plh) Kepala BKHM, Anang Ristanto, menjelaskan bahwa di era digital saat ini, literasi menjadi semakin vital. Informasi bertebaran di berbagai platform, terutama media sosial, sehingga kemampuan untuk memilah dan memahami informasi dengan baik sangatlah krusial. “Literasi akan mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku sebagai pengguna media sosial,” ungkap Anang.
Tanpa pemahaman literasi yang cukup, pengguna media sosial sangat rentan terhadap penyebaran hoaks, misinformasi, atau bahkan berita palsu. Di sinilah pentingnya literasi digital yang baik, yang mampu membantu kita bersikap lebih kritis dan cerdas dalam menelaah serta menyebarkan informasi. Masyarakat perlu menyadari bahwa kebiasaan berbagi informasi yang tidak terverifikasi dapat membawa dampak serius, mulai dari ketidakpercayaan publik hingga kekacauan sosial.
Selain itu, Anang juga menekankan bahwa literasi digital memainkan peran penting dalam membentuk etika dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Pengguna yang memiliki literasi digital yang baik akan lebih bijak dalam berkomunikasi, memahami konteks, serta menjaga suasana yang positif di ruang digital. “Penggunaan media sosial yang sembarangan bisa menimbulkan dampak buruk seperti penyebaran hoaks, perundungan daring, dan bahkan memicu kekerasan dari konflik yang bermula di dunia maya,” jelasnya.
Generasi muda, khususnya, harus lebih cerdas dalam memanfaatkan media sosial untuk hal-hal positif dan produktif. Kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, tidak pernah menjadi jalan keluar yang tepat. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan sikap anti kekerasan sejak dini.
Penjabat (Pj) Bupati Kudus, Muhamad Hasan Chabibie, menyoroti rendahnya tingkat minat baca di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001 persen—yang artinya hanya satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca. Ini menempatkan Indonesia di peringkat terendah kedua di dunia versi UNESCO.
Hasan menjelaskan bahwa salah satu tantangan besar bagi Indonesia saat ini adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik dan memiliki kecintaan terhadap literasi. Di era 4.0 ini, kemajuan teknologi seharusnya menjadi peluang, karena memudahkan akses terhadap berbagai bacaan, baik melalui gawai, televisi, maupun media elektronik lainnya.
“Namun, meskipun akses semakin mudah, kesadaran untuk memanfaatkan literasi digital secara optimal masih menjadi PR besar bagi kita. Literasi digital bukan sekadar membaca, tapi juga memahami dan menilai informasi secara kritis. Jika kita tidak segera memperbaiki kondisi ini, kita akan semakin tertinggal,” jelasnya.
Oleh karena itu, Hasan sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan dalam Festival Literasi yang digelar oleh Kemendikbudristek, sebagai langkah penting dalam membangun kesadaran akan pentingnya literasi di kalangan masyarakat. Salah satu acara dalam festival ini adalah gelar wicara bertema “Bijak Bermedia Sosial dalam Mencegah Kekerasan di Satuan Pendidikan,” yang menghadirkan pembicara seperti akademisi dari IAIN Kudus, Siti Malaiha Dewi, serta penulis buku dan influencer, Iwan Setiawan. Acara tersebut diikuti oleh 250 peserta yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari siswa, guru, dosen, hingga pegiat sosial.
Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan lebih banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya literasi digital dan etika bermedia sosial, sehingga kekerasan yang sering kali berawal dari konflik di dunia maya dapat dicegah.