Tahukah Anda bahwa Jakarta sebenarnya sudah memiliki moda transportasi umum yang cukup canggih sejak zaman kolonial Hindia Belanda? Fakta ini semakin jelas terlihat ketika PT MRT Jakarta melakukan ekskavasi untuk proyek jalur bawah tanah MRT Fase 2A dari Stasiun Bundaran HI hingga Stasiun Kota. Selama proses pembangunan, banyak ditemukan artefak dan peninggalan sejarah dari era Batavia, yang membawa kita menyusuri kembali jejak kehidupan kota ini sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20.
Dari proyek ini, ditemukan puluhan artefak menarik, mulai dari tulang sendi dan gigi hewan seperti kerbau, pecahan keramik dari Tiongkok dan Eropa, botol tembikar, peluru, hingga koin-koin peninggalan Belanda. Penemuan ini diperkirakan berasal dari abad ke-18 hingga ke-20, yang memberi petunjuk tentang dinamika budaya dan perdagangan masa lalu Jakarta. Artefak-artefak tersebut ditemukan di 14 titik sepanjang jalur MRT Fase 2A, di kedalaman 100 hingga 150 cm di bawah Jalan MH Thamrin dan sebagian Jalan Medan Merdeka Barat. Penemuan ini membawa kita lebih memahami seperti apa kehidupan dan aktivitas masyarakat Batavia kala itu.
Di sepanjang jalur Harmoni-Glodok, para arkeolog juga menemukan berbagai objek cagar budaya dan artefak yang diduga sebagai cagar budaya, seperti Jembatan Glodok, pipa saluran air Batavia kuno yang terbuat dari terakota, rel trem Batavia, cerucuk kayu, hingga Tugu Jam Thamrin. Yang paling mencengangkan adalah ditemukannya rel trem Batavia pada kedalaman hanya 27 cm di bawah tanah, membentang sepanjang 1,4 km, yang menjadi bukti nyata bahwa sistem transportasi Batavia pada zamannya sangat maju.
Sejarah mencatat, trem pertama di Batavia beroperasi pada 1869, yang diawali dengan trem kuda – sebuah kereta panjang yang ditarik kuda dan dapat mengangkut sekitar 40 penumpang. Bahkan, istilah “zaman kuda gigit besi” menjadi populer di kalangan warga Jakarta antara tahun 1970-1990-an, yang merujuk pada era trem kuda ini. Namun, karena kuda-kuda sering kelelahan dan mengotori jalanan, trem uap pun diperkenalkan pada 1881, membuat jalurnya lebih panjang, mulai dari Pasar Ikan hingga Jatinegara, dengan rute bercabang di kawasan Harmoni. Pada 1933, trem ini beralih menjadi trem listrik yang lebih efisien dan nyaman, mengurangi waktu perjalanan hingga 10 menit.
Selama masa pendudukan Jepang antara 1942-1945, trem Batavia mengalami perombakan besar-besaran. Jepang menghapus sistem kelas pada trem, menggantinya dengan simbol-simbol Jepang, dan memecat karyawan keturunan Belanda. Ketika kemerdekaan dikumandangkan, pengelolaan trem diambil alih oleh pemerintah Indonesia pada 13 Oktober 1945, dan berganti nama menjadi Trem Djakarta Kota, yang kemudian dinasionalisasi menjadi Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) pada 1957. Sayangnya, trem dihentikan pada 1962 dan digantikan oleh moda transportasi lain seperti bus PPD, oplet, dan kereta listrik (KRL) Jabodetabek pada 1979.
Untuk menjaga jejak sejarah ini, MRT Jakarta sedang membangun galeri cagar budaya di Stasiun MRT Monas dan MRT Kota, yang dijadwalkan beroperasi pada 2029. Galeri-galeri ini akan menampilkan berbagai artefak yang ditemukan selama pembangunan MRT Fase 2A. Misalnya, di Galeri Monas akan terdapat pameran bangunan-bangunan bersejarah seperti Monas dan Museum Nasional. Sementara itu, galeri di Stasiun Kota akan menghadirkan peninggalan trem Batavia, porselen dari Tiongkok, hingga saluran air terakota.
Pusat informasi ini tidak hanya akan menjadi tempat edukasi sejarah bagi masyarakat, tetapi juga pengingat bahwa modernisasi harus beriringan dengan upaya pelestarian sejarah. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, menegaskan komitmen Pemprov DKI dalam merawat setiap temuan sejarah yang ada selama proyek MRT berlangsung. Dengan perhatian dan penghargaan terhadap sejarah kota, Jakarta bukan hanya melangkah ke masa depan yang lebih modern tetapi juga melestarikan akar sejarahnya.