Indonesia memiliki potensi besar di sektor pertanian, khususnya di lahan kering yang luasnya mencapai 63,4 juta hektare atau sekitar 33,7% dari total luas lahan Indonesia, menurut data BPS tahun 2019. Dari jumlah tersebut, 8,8 juta hektare telah digunakan untuk pertanian, 26,3 juta hektare digunakan untuk pertanian lahan kering campur semak, dan 18 juta hektare untuk perkebunan. Namun, masih ada sekitar 10,3 juta hektare lahan yang belum dimanfaatkan.
Jika produktivitas lahan yang telah diusahakan, yaitu sebesar 53,1 juta hektare, ditingkatkan rata-rata 100 kilogram per hektare, maka akan ada tambahan produksi padi nasional sebesar 5,31 juta ton. Produk pertanian Indonesia, seperti minyak kelapa sawit, kopi, karet, rempah-rempah, dan produk lainnya, memiliki peran signifikan, baik untuk kebutuhan lokal maupun pasar ekspor.
Potensi ekspor produk pertanian Indonesia juga sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk buah-buahan nasional pada tahun 2023 berkontribusi sebesar USD 637,93 juta dengan total volume ekspor meningkat 10,28% year-on-year (yoy) mencapai 1,20 juta ton. Sedangkan ekspor rempah-rempah mencapai USD 613,79 juta dengan peningkatan volume hingga 26,75%, mencapai 157,79 ribu ton.
Kinerja ekspor komoditas buah-buahan dan rempah Indonesia terus bertumbuh signifikan. Pada periode Januari-Maret 2024, nilai ekspor produk buah-buahan mencapai USD 262,44 juta, naik 65,37% yoy dari USD 158,70 juta pada periode yang sama tahun 2023. Sedangkan ekspor produk rempah mencapai USD 178,47 juta, meningkat 13,58% yoy dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023.
Meningkatnya ekspor produk hasil bumi ini menunjukkan bahwa buah-buahan dan rempah asal Indonesia menjadi incaran pasar internasional. Peluang ekspor produk hortikultura pun terbuka luas dengan ketersediaan produk yang berlimpah.
Melihat potensi tersebut, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (Kementan) berupaya meningkatkan ekspor produk hortikultura dalam negeri melalui kegiatan “A Day of Indonesia’s Hortus Colere: Indonesian Horticulture Go Global” di Hotel Manhattan, Jakarta, pada Jumat (14/6/2024).
Melalui acara tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto, berharap para pelaku usaha dapat meningkatkan jaringan dan peluang bisnis, terutama dalam mengembangkan kolaborasi dan membuka akses pasar bagi produk hortikultura di pasar global. “Kementan memiliki peran penting sebagai motivator, fasilitator, regulator, dinamisator, dan membangun iklim usaha yang kondusif untuk mendukung pengembangan akses pasar seperti ekspor,” ujar Prihasto yang juga menjabat sebagai Plt Sekretaris Jenderal Kementan.
Pada momen yang sama, Kementan juga memfasilitasi kegiatan business matching untuk mendukung peningkatan ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara tujuan ekspor dengan melibatkan 18 negara mitra yang hadir, seperti Pakistan, Filipina, Kamboja, Belanda, Korea Selatan, Rusia, Denmark, Finlandia, Tiongkok, Singapura, Timor Leste, Taiwan, Malaysia, India, Papua Nugini, Zimbabwe, Jepang, dan Australia.
Dalam aspek ketahanan pangan dalam negeri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung pengembangan industri pangan melalui hilirisasi produk pertanian, sehingga tercipta diversifikasi produk pangan yang memanfaatkan sumber daya lokal dengan meningkatkan nilai tambah.
Pemerintah berharap hilirisasi produk pertanian dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, menyatakan bahwa hilirisasi produk pertanian merupakan tulang punggung ketahanan pangan Indonesia. Masyarakat tidak hanya membutuhkan bahan pangan segar, tetapi juga olahan pangan lanjutan.
Reni memberikan contoh bahwa pelaku industri dapat memanfaatkan bahan baku pengganti beras sebagai sumber karbohidrat, seperti singkong, sagu, porang, dan sorgum. “Percepatan hilirisasi komoditas bahan pangan saat ini sangat diperlukan karena besarnya potensi untuk pengembangan produk olahan lanjutan yang dihasilkan dari bahan baku lokal, baik produk antara (intermediate product) maupun produk jadi (end product) yang siap dikonsumsi,” papar Reni.
Direktur IKM Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan Yedi Sabaryadi mengungkapkan bahwa produk pangan inovatif memiliki segmen pasar di sektor ritel. Pada Mei 2024, Ditjen IKMA melaksanakan kegiatan Business Matching yang mempertemukan 47 IKM pangan terpilih dengan 24 perusahaan ritel, menghasilkan potensi transaksi mencapai Rp 33 miliar.
Sebanyak 26 IKM peserta business matching merupakan alumni program Indonesia Food Innovation (IFI), dan ada satu IKM dengan produk madu mencatatkan potensi transaksi tertinggi senilai Rp 1,02 miliar.
Menurut Yedi, percepatan hilirisasi produk agrikultur memerlukan kolaborasi berbagai pihak, seperti startup, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, serta IKM teknologi tepat guna, yang dapat menjadi mitra. Di rantai produksi industri pangan, para pelaku harus memperhatikan bahan baku pembuatan produk, produksi, hingga distribusi ke tangan konsumen.
Dalam upaya mengakselerasi bisnis IKM pangan yang memiliki inovasi dalam produk dan/atau prosesnya, serta yang memiliki bahan baku utama sumber daya lokal, Ditjen IKMA rutin menyelenggarakan Program Indonesia Food Innovation (IFI). Tujuannya adalah agar IKM pangan siap menjadi industri pangan yang mudah dipasarkan, menguntungkan, dan berkelanjutan (marketable, profitable, dan sustainable).
Data Kemenperin mencatat bahwa pendaftar IFI terus meningkat setiap tahun. Selama empat kali pelaksanaan, jumlah pendaftar mencapai 7.925, dan pada tahun 2023 sebanyak 2.153 pendaftar mengikuti seleksi program IFI. Terdapat 20 peserta yang terpilih mendapatkan pembinaan dalam tahapan food business scale-up melalui coaching, mentoring, dan fasilitasi pembinaan terkait manajemen, aspek hukum, dan jejaring.
Dari fasilitasi yang diberikan Ditjen IKMA, banyak pelaku IKM pangan peserta IFI yang berhasil menaikkan omzet dan memperluas potensi pasar, baik nasional maupun ekspor. Contohnya, IKM produk olahan susu yang menciptakan keju spesial dengan sentuhan cita rasa lokal, Rossalie Cheese di Bali. Dengan sertifikasi HACCP, Rossalie Cheese mampu mengembangkan pasar menjadi pengganti keju impor ke jaringan premium hotel, premium retail market, dan restoran premium di Bali dan kota besar di Indonesia.
IKM lain yang berhasil memperluas ekspor setelah mengimplementasikan HACCP adalah CV Nusantara Jaya Food (NJF) di Malang, Jawa Timur. CV NJF mengalami peningkatan kapasitas produksi dan perluasan pasar hingga ke Curacao, Hong Kong, Korea, dan Australia. Total kapasitas produksi untuk produk sayur dan buah beku CV NJF yang dipasok untuk perusahaan mining dan Asosiasi Catering Indonesia mencapai 300 ton per bulan.
Melihat potensi besar yang dimiliki sektor pertanian dan industri pangan Indonesia, langkah-langkah inovatif dan kolaboratif yang diambil oleh pemerintah dan pelaku usaha sangat krusial. Kolaborasi lintas sektor dan dukungan pemerintah tidak hanya penting untuk meningkatkan produktivitas lahan dan ekspor produk hortikultura, tetapi juga dalam menciptakan produk-produk pangan inovatif yang dapat bersaing di pasar global.
Hilirasasi produk pertanian, misalnya, adalah strategi yang dapat meningkatkan nilai tambah dan membuka peluang baru di pasar lokal dan internasional. Dengan diversifikasi produk dan peningkatan akses pasar, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam industri pangan global. Inovasi dalam produk pangan, seperti yang dilakukan oleh pelaku IKM melalui program IFI, menunjukkan bahwa dengan dukungan yang tepat, sektor ini memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan peningkatan ekspor. Dukungan terhadap inovasi, peningkatan kapasitas produksi, dan pembukaan akses pasar adalah langkah-langkah penting yang perlu terus didorong untuk mengoptimalkan potensi sektor pertanian dan industri pangan Indonesia.