Menjelajahi taman nasional Indonesia bukan hanya soal menikmati keindahan alam, tetapi juga tentang menjaga warisan alam untuk generasi mendatang. Mari kita lihat bagaimana sistem buka-tutup di Taman Nasional Komodo menjadi solusi untuk melestarikan kawasan ini.
Indonesia memiliki 55 taman nasional dan 130 taman wisata alam, yang mencakup sekitar 27,4 juta hektare dari Sabang hingga Merauke. Jumlah kawasan konservasi ini telah meningkat pesat sejak tahun 1982, ketika Indonesia hanya memiliki 5 taman nasional. Terbitnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya menandai langkah penting pemerintah dalam mengembangkan taman nasional dan taman wisata alam sebagai destinasi wisata sambil tetap menjaga kelestarian alam.
Pengunjung taman nasional dan taman wisata alam dapat melakukan berbagai aktivitas seperti berkemah, mendaki gunung, menyelam, snorkeling, menjelajahi gua, serta mengamati satwa dan tumbuhan. Mereka juga bisa menikmati keragaman budaya masyarakat setempat dan melakukan wisata religi sebagai bentuk syukur atas keindahan alam ciptaan Tuhan.
Namun, kunjungan wisatawan tidak hanya membawa manfaat. Aktivitas wisata dapat menambah jumlah sampah di alam dan ada risiko penjarahan flora dan fauna, yang jelas melanggar hukum. Untuk mengatasi masalah ini, pengelola kawasan konservasi secara berkala memberikan waktu istirahat bagi kawasan tersebut dari kunjungan wisatawan. Ini adalah upaya untuk memulihkan ekosistem dan memberikan ruang bagi flora dan fauna untuk tumbuh kembali, sebagaimana terjadi selama pandemi Covid-19 ketika seluruh kawasan konservasi sempat ditutup.
Contoh nyata dari kebijakan ini dapat dilihat di Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Taman nasional seluas 1.817 kilometer persegi ini terkenal dengan keindahan alam dan bawah lautnya, serta sebagai habitat komodo, spesies biawak besar yang hanya ditemukan di kawasan ini. Di TNK, komodo adalah daya tarik utama, dan setiap tahun, ratusan ribu wisatawan datang untuk melihatnya. Namun, tingginya jumlah kunjungan mempengaruhi ekosistem taman nasional.
Untuk mengatasi dampak negatif dari tingginya kunjungan wisatawan, pengelola Taman Nasional Komodo akan menerapkan sistem buka-tutup mulai 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih dari dampak aktivitas wisata. Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Hendrikus Rani Siga, menjelaskan bahwa sistem ini akan membantu mengurangi kerusakan pada ekosistem bawah laut dan daratan yang disebabkan oleh aktivitas wisata, seperti pembuangan sampah dan jangkar kapal yang tidak pada tempatnya.
Penerapan sistem buka-tutup ini didasarkan pada kajian dari Pusat Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Badan Pengelola Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kajian ini menunjukkan bahwa sistem buka-tutup sebaiknya diterapkan satu hari dalam seminggu untuk meminimalkan dampak wisata. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, mendukung kebijakan ini karena dianggap tidak akan mengurangi minat wisatawan, malah memberi peluang bagi desa-desa wisata sekitar untuk menjadi destinasi alternatif.
Pelaksana Tugas Direktur Utama BPOLBF, Frans Teguh, juga menyatakan dukungannya terhadap sistem buka-tutup sebagai langkah penting untuk pemulihan dan regenerasi kawasan konservasi. Menjaga dan merawat sumber daya alam di taman nasional sangat penting untuk memastikan keberlanjutan ekosistem.
Jadi, saat Anda merencanakan kunjungan ke taman nasional, pastikan untuk mematuhi aturan yang ditetapkan pengelola dan menghormati adat istiadat masyarakat setempat. Ingat prinsip dasar para pecinta alam sejati: jangan mengambil apa pun kecuali gambar, dan tidak meninggalkan apa pun kecuali kenangan. Ini adalah langkah kecil namun berarti dalam upaya menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang.