Nilai ekspor Indonesia pada November 2024 tercatat sebesar US$24,01 miliar, mengalami penurunan sebesar 1,70 persen dibandingkan dengan Oktober 2024. Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, nilai ekspor justru meningkat 9,14 persen. Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti (Winny), menjelaskan bahwa ekspor nonmigas mencapai US$22,69 miliar, menurun 1,67 persen dari bulan sebelumnya, tetapi mengalami kenaikan 9,54 persen dibanding November 2023. Fenomena ini mencerminkan dinamika perdagangan yang dipengaruhi oleh fluktuasi permintaan global dan perubahan harga komoditas utama.
Beberapa komoditas mengalami tekanan signifikan, seperti lemak dan minyak hewani/nabati yang turun sebesar US$317,9 juta atau 10,48 persen. Penurunan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh harga minyak sawit global yang cenderung melemah akibat pasokan melimpah dan penurunan permintaan dari pasar utama. Namun, di sisi lain, ada kabar baik dari komoditas nikel yang mengalami lonjakan signifikan. Ekspor nikel dan produk turunannya meningkat sebesar US$467,6 juta atau 87,26 persen. Hal ini menunjukkan peran strategis Indonesia dalam memenuhi kebutuhan global terhadap logam untuk teknologi energi terbarukan, seperti baterai kendaraan listrik.
Secara sektoral, ekspor nonmigas dari industri pengolahan mencatat kenaikan 4,70 persen sepanjang Januari hingga November 2024 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Begitu pula dengan hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan yang melonjak hingga 26,80 persen, mencerminkan potensi besar sektor primer Indonesia di pasar internasional. Sayangnya, sektor pertambangan mencatat penurunan 8,83 persen, yang mungkin disebabkan oleh pelemahan harga komoditas tambang global. Dalam konteks ini, perlu adanya diversifikasi produk tambang bernilai tambah untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Tiongkok tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai US$6,24 miliar pada November 2024. Amerika Serikat dan India mengikuti di posisi kedua dan ketiga dengan nilai masing-masing US$2,34 miliar dan US$1,58 miliar. Ketiga negara ini berkontribusi hampir setengah dari total ekspor nonmigas Indonesia, yaitu sebesar 44,82 persen. Selain itu, ekspor ke ASEAN mencapai US$4,09 miliar, sementara ke Uni Eropa (27 negara) tercatat sebesar US$1,37 miliar. Angka-angka ini menegaskan pentingnya memperkuat hubungan dagang dengan kawasan regional dan mitra global utama untuk menjaga stabilitas ekspor.
Dari sisi provinsi, Jawa Barat kembali menjadi kontributor terbesar ekspor Indonesia dengan nilai US$34,73 miliar sepanjang Januari hingga November 2024, menyumbang 14,40 persen dari total ekspor nasional. Disusul oleh Jawa Timur dengan US$23,62 miliar (9,79 persen) dan Kalimantan Timur dengan US$23,05 miliar (9,55 persen). Dominasi Jawa Barat menunjukkan keberhasilan kawasan ini sebagai pusat manufaktur dan pengolahan, tetapi sekaligus menjadi pengingat bahwa pemerataan potensi ekonomi ke daerah lain harus terus diupayakan agar pertumbuhan lebih inklusif.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia dari Januari hingga November 2024 mencapai US$241,25 miliar, naik 2,06 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023. Ekspor nonmigas yang berkontribusi sebesar US$226,91 miliar juga mencatat kenaikan 2,24 persen. Meski kenaikan ini tergolong moderat, tren positif ini menunjukkan kemampuan Indonesia untuk beradaptasi di tengah tantangan ekonomi global. Agar pertumbuhan ekspor tetap terjaga, Indonesia perlu terus memperkuat sektor pengolahan, memperluas akses pasar, dan mendorong inovasi produk bernilai tambah yang kompetitif di pasar internasional.