Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Siswo Pramono, menyoroti transformasi digital Indonesia dalam acara The 5th International Conference on Computational Science and Information Management (ICoCSIM) 2024 yang berlangsung di Melbourne, Australia, Senin (28/10). Dalam konferensi tersebut, ia memaparkan bagaimana Asia, khususnya Indonesia, menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang paling dinamis dalam era digitalisasi global. Siswo menekankan bahwa, merujuk pada Presidensi G-20 Indonesia di 2022, terdapat 276 proyek strategis yang diinisiasi Indonesia dengan mengusung tema “Welfare for the World,” di mana delapan persen di antaranya berfokus pada digitalisasi. Ini menggambarkan betapa pentingnya transformasi digital bagi pembangunan berkelanjutan.
Dari perspektif hubungan Indonesia-Australia, Siswo mencatat bahwa kesamaan zona waktu antara kedua negara memberikan keuntungan strategis dalam transaksi ekonomi. “Misalnya, perbedaan waktu antara Perth dan Bali hanya dua jam, sehingga aktivitas transaksi dapat berjalan seiring. Ini berbeda dengan situasi jika kita bertransaksi dengan negara di Amerika atau Eropa yang memiliki perbedaan waktu signifikan,” ungkapnya. Faktor ini tidak hanya mendukung kemudahan bisnis, tetapi juga mempererat kolaborasi antarnegara yang lebih efisien.
Sementara itu, Mazlina Abdul Majid dari Universitas Malaysia, Pahang, mengangkat topik Green Internet of Things (IoT), yang menekankan pada keberlanjutan dalam penerapan IoT. Menurutnya, Green IoT bertujuan mengatasi tantangan lingkungan dengan optimalisasi sumber daya dan meminimalkan inefisiensi. “Green IoT menawarkan solusi yang tidak hanya inovatif tetapi juga berkelanjutan, sehingga dapat menjawab tantangan lingkungan secara luas,” ujarnya. Mazlina berargumen bahwa teknologi ini mampu mendorong optimalisasi dan mengurangi jejak karbon, sejalan dengan komitmen menuju ekonomi hijau.
Di bidang Artificial Intelligence (AI), peneliti asal Indonesia, Teddy Mantoro, mempresentasikan penelitiannya yang menyoroti peran AI tidak hanya sebagai alat prediksi, tetapi juga untuk menciptakan inovasi di berbagai bidang seperti seni, jaringan teknologi, dan model multi-modal. “AI kini mampu menghasilkan data, model, dan desain baru dari berbagai skenario yang dihasilkan,” jelasnya. Namun, Teddy memperingatkan bahwa penggunaan AI yang masif perlu diiringi regulasi ketat. Potensi penyalahgunaan, bias, dan pelanggaran hak cipta menjadi isu yang harus disikapi serius, karena bisa berdampak negatif pada masyarakat. “Penting untuk membicarakan regulasi penggunaan AI yang mempertimbangkan risiko sosial dan etika,” tegasnya, menambahkan bahwa pengawasan ketat diperlukan agar AI berkembang secara bertanggung jawab.
Ketua penyelenggara acara, Benny Benyamin Nasution, mengungkapkan bahwa konferensi ini membahas 15 tema utama terkait Ilmu Komputasi dan 10 topik besar mengenai manajemen informasi. Acara ini dihadiri oleh 75 peserta, dengan 20 peserta hadir secara langsung dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand, sementara 55 peserta lainnya hadir secara daring.
Konferensi ICoCSIM ini menjadi platform diskusi penting untuk memajukan penelitian dan pengembangan teknologi komputasi di Asia.