Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya berasal dari Sumatra Barat (Sumbar). Provinsi yang dijuluki Ranah Minang ini memiliki budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial penduduknya dan selalu menarik untuk diulas. Salah satu budaya yang menarik adalah budaya pernikahan berlatar adat Minangkabau, suku asli di Sumbar. Di sini, terdapat satu daerah yaitu Pariaman yang memiliki budaya perkawinan yang unik dan berbeda dari wilayah lainnya di Ranah Minang.
Budaya ini disebut tradisi bajapuik atau menjemput pengantin laki-laki, juga dikenal sebagai adat nan diadatkan karena sifatnya bisa berubah sesuai kesepakatan masyarakat dan hanya terjadi di Pariaman. Tradisi bajapuik didasari oleh falsafah masyarakat Minang dengan sistem matrilinealnya atau mengikuti garis keturunan ibu, di mana dalam hukum adat disebutkan bahwa posisi suami adalah sebagai tamu di rumah istrinya.
Sebagai tamu, berlaku nilai moral datang karano dipanggia, tibo karano dijapuik, yang berarti datang karena dipanggil, tiba karena dijemput. Menurut sejarawan Minangkabau, Welhendri, dalam bukunya Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, prosesi pernikahan di Pariaman selalu melibatkan pengantin laki-laki yang diantar ke rumah istrinya.
Ini adalah bentuk ketulusan hati keluarga istri dalam menerima, yang dijemput secara adat. Sebaliknya, sebagai wujud keikhlasan melepas anak kemenakan, maka pengantin laki-laki diantar oleh kerabatnya secara adat, sehingga disebut “orang jemputan.” Bagi masyarakat Pariaman, bajapuik adalah kewajiban dari keluarga mempelai perempuan (anak daro) kepada pihak pengantin pria (marapulai).
Tradisi ini ditandai dengan pemberian sejumlah uang japuik sebelum pernikahan dilangsungkan. Jumlah uang japuik biasanya dibicarakan oleh paman (mamak) pengantin pria dari pihak ibu. Azami dalam Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat menyebut diskusi mengenai uang japuik dilakukan dalam acara bernama batimbang tando.
Pada dasarnya, tradisi bajapuik memiliki beberapa tahapan, di antaranya maantaan asok atau marantak tanggo (mengantarkan asap) yang bermakna perkenalan keluarga kedua pihak calon mempelai. Keluarga calon mempelai perempuan akan mendatangi keluarga calon mempelai pria, dilanjutkan dengan penentuan waktu pernikahan (bakampuang kampuangan). Pada hari pernikahan, keluarga pengantin perempuan akan menjemput pengantin pria (manjapuik marapulai) sambil membawa uang japuik.
Tradisi ini unik dan jarang ditemukan di daerah lain di Indonesia. Meskipun demikian, sebagai daerah yang dikenal dengan falsafah adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah, setiap tradisi atau adat harus selaras dengan ajaran agama. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Pariaman, Rinalfi, menyatakan bahwa tradisi bajapuik tidak melanggar hukum Islam dan lebih mengacu pada adat istiadat daripada agama. Prosesi bajapuik dilakukan sebelum pernikahan sehingga tidak termasuk dalam syarat pernikahan dalam Islam.
Priyaldi, Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Pariaman, mengatakan bahwa pemerintah daerah berupaya melindungi tradisi bajapuik sebagai kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga kini. “Perkawinan bajapuik merupakan kearifan lokal di Pariaman yang perlu dijaga dan dilindungi di tengah kemajuan zaman saat ini,” ujarnya.
Tidak mengherankan jika pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan tradisi bajapuik sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).
Pelestarian tradisi seperti bajapuik sangat penting dalam menjaga identitas budaya lokal. Tradisi ini bukan hanya ritual, tetapi juga bentuk ekspresi sosial dan budaya yang memperkaya warisan budaya Indonesia. Dengan semakin pesatnya modernisasi, menjaga tradisi seperti bajapuik menjadi upaya melestarikan nilai-nilai luhur yang membentuk identitas komunitas. Selain itu, pelestarian ini dapat menarik minat wisatawan dan meningkatkan kesadaran global akan kekayaan budaya Indonesia, mendukung industri pariwisata dan ekonomi lokal. Upaya pemerintah dan masyarakat untuk melindungi dan mempromosikan tradisi ini harus terus didorong agar tidak punah dan tetap menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat.