Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api paling aktif di Indonesia karena rutin mengalami erupsi setiap 2–5 tahun sekali. Letusannya bukan hanya memuntahkan jutaan ton material vulkanik, tetapi juga kerap memicu banjir lahar dingin yang menjadi ancaman serius. Fenomena ini tidak hanya merusak bangunan, akses jalan, jembatan, dan lahan pertanian, tetapi juga berpotensi mengancam situs bersejarah yang berada di sekitar aliran sungai. Salah satu korban nyata dari bahaya ini adalah Candi Lumbung, sebuah candi Hindu yang telah berdiri sejak abad ke-9 di dekat aliran Sungai Pabelan, Desa Sengi, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Warisan Bersejarah dalam Bahaya
Candi Lumbung, yang diyakini sebagai tempat pendharmaan untuk Bathara di Salingsingan, memiliki nilai historis yang tinggi. Berdasarkan catatan kuno dari Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie tahun 1914, candi ini dulu menyimpan tiga arca Ganesha dan dua lingga yang kini sudah tidak berada di lokasi. Sayangnya, letaknya yang hanya beberapa meter dari bibir Sungai Pabelan membuatnya rentan terhadap banjir lahar dingin. Pada 2010, jarak candi yang awalnya 3 meter dari tepi sungai tergerus hingga tinggal 50 sentimeter. Meski sempat diperkuat dengan talut untuk menahan longsoran, upaya ini kalah oleh kekuatan alam.
Selain Candi Lumbung, ada dua candi lain di sekitar lokasi, yakni Candi Asu dan Candi Pendem, yang relatif lebih aman. Namun, ancaman terhadap Candi Lumbung begitu mendesak sehingga Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memutuskan untuk memindahkannya pada September 2011 ke tempat yang lebih aman, yakni Dusun Tlatar, Desa Krogowanan.
Pemindahan yang Penuh Tantangan
Pemindahan Candi Lumbung ke Tlatar adalah upaya besar yang melibatkan para ahli arkeologi, pekerja lokal, dan dukungan masyarakat. Proses ini dilakukan secara manual, termasuk membongkar dan menyusun ulang bebatuan candi dengan hati-hati. Selama proses pemindahan, ditemukan rahang dan tulang belulang herbivora di bawah bangunan candi, menambah nilai arkeologis situs ini. Setelah proses yang memakan waktu berbulan-bulan, Candi Lumbung akhirnya selesai dipindahkan pada awal 2012 dan kembali digunakan sebagai tempat peribadatan umat Hindu.
Namun, keberadaan candi di Tlatar tidak bisa permanen karena lahannya merupakan milik warga yang disewa oleh pemerintah. Selain itu, permintaan masyarakat Desa Sengi agar candi dikembalikan ke wilayah mereka menjadi alasan utama pengembalian ini.
Kembali ke Desa Sengi: Sebuah Reuni Bersejarah
Pada Juli 2023, proses pengembalian Candi Lumbung ke Desa Sengi dimulai. Lokasi baru candi ini, meski tidak berada persis di pinggir Sungai Pabelan, dipilih dekat dengan Candi Asu dan berada di tanah kas desa, sehingga lebih aman dari ancaman bencana alam. Pemindahan dilakukan dalam dua tahap, melibatkan 30 pekerja, termasuk ahli dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X.
Namun, tantangan tetap ada. Sebanyak 75 persen batu candi asli berhasil digunakan kembali, sementara sisanya diganti dengan batu baru, terutama di bagian fondasi untuk menjaga keamanan pengunjung. Proses ini berlangsung tanpa bantuan alat modern, hanya menggunakan material kayu untuk memindahkan batuan besar dengan dimensi panjang 50–60 cm dan ketebalan 30–40 cm. Pada 18 Oktober 2024, upacara keagamaan Hindu yang dipimpin oleh pemuka agama setempat menandai kembalinya candi ini ke Desa Sengi.
Pelajaran dari Candi Lumbung
Kisah Candi Lumbung mengajarkan kita tentang pentingnya melestarikan warisan budaya di tengah ancaman bencana alam. Pemindahan candi ini adalah bukti nyata bahwa dengan kerja keras, kolaborasi, dan komitmen, sebuah situs bersejarah dapat diselamatkan dari kehancuran. Namun, langkah ini juga memunculkan pertanyaan: bagaimana sebaiknya kita menjaga cagar budaya yang berada di kawasan rawan bencana? Apakah perlindungan sementara seperti plastik raksasa sudah cukup, atau perlu ada langkah lebih strategis untuk memitigasi risiko?
Kini, masyarakat Desa Sengi kembali bisa menikmati kehadiran Candi Lumbung, bukan hanya sebagai situs keagamaan, tetapi juga simbol ketahanan budaya menghadapi alam. Semoga kisah ini menginspirasi upaya pelestarian cagar budaya lainnya di Indonesia.