Jika Anda pencinta wisata religi, terutama di bulan Ramadan, maka Masjid Agung Keraton Sumenep adalah destinasi yang tak boleh dilewatkan. Bukan sekadar tempat ibadah, masjid ini menyimpan sejarah panjang, arsitektur megah, dan tradisi khas yang memberikan pengalaman spiritual sekaligus budaya yang mendalam. Setiap langkah di masjid ini bukan hanya menapaki lantai bersejarah, tetapi juga menyelami perjalanan panjang peradaban Islam di Nusantara.
Walaupun masjid ini selalu terbuka untuk siapa saja, ada momen istimewa yang sayang untuk dilewatkan, yakni saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada hari tersebut, masyarakat setempat menggelar tradisi selametan—bukan sekadar makan bersama, tetapi sebuah perwujudan dari semangat kebersamaan dan nilai-nilai sosial yang telah dijaga turun-temurun. Duduk bersila bersama, menikmati sajian khas, dan merasakan kehangatan persaudaraan menjadikan perayaan ini lebih dari sekadar ritual tahunan, melainkan bagian dari identitas budaya Sumenep yang terus hidup.
Sajian utama dalam selametan ini adalah nasi kebuli, hidangan istimewa yang menyatukan kekayaan rasa rempah Timur Tengah dengan sentuhan khas Sumenep. Aromanya menggugah, rasanya kaya, dan maknanya mendalam—menjadi simbol kebersamaan yang melekat kuat dalam tradisi masyarakat. Jika Anda belum pernah mencicipinya langsung dalam suasana autentik seperti ini, maka inilah saat yang tepat untuk melakukannya!
Namun, daya tarik Masjid Agung Keraton Sumenep tak berhenti di sana. Keunikan arsitekturnya adalah bukti bahwa Islam di Nusantara berkembang dengan akulturasi budaya yang begitu harmonis. Dibangun pada masa Panembahan Somala, masjid ini masuk dalam jajaran 10 masjid tertua di Indonesia. Fakta menariknya, arsitek yang merancangnya adalah seorang keturunan Tionghoa bernama Lauw Pia Ngo, yang juga membangun Keraton Sumenep. Meskipun tidak banyak catatan tertulis tentang sosoknya, karya yang ia tinggalkan telah menjadi saksi bisu kejayaan arsitektur masa lampau.
Melangkah ke dalam masjid, Anda akan menemukan perpaduan budaya yang luar biasa. Gerbang utama yang megah dengan tembok panjang menciptakan kesan kokoh dan monumental, mengingatkan pada Tembok Besar China. Sementara itu, interiornya mencerminkan kemewahan khas Tiongkok dengan keramik porselen yang melapisi dinding mimbar, mihrab, dan maksurah. Namun, unsur Jawa tetap kental, terutama pada bentuk atapnya yang khas, sementara warna-warni pintu dan jendela merepresentasikan estetika Madura yang berani dan penuh karakter.
Setiap elemen bangunan ini memiliki makna mendalam. Pagar tembok yang mengelilingi masjid bukan sekadar batas fisik, tetapi simbol keteguhan dalam beribadah, agar jemaah tetap fokus dalam salat dan khotbah. Gerbang masjid berbentuk gapura juga menyimpan filosofi mendalam, yakni harapan sang panembahan agar rakyatnya selalu memiliki jalan yang lurus dalam keimanan.
Jika Anda jeli, Anda akan menemukan ornamen unik di atas gapura, berupa dua lubang tanpa penutup yang melambangkan mata manusia—sebuah pengingat bahwa kita selalu diawasi dalam setiap langkah kehidupan. Di atasnya, ada ornamen berbentuk segi lima yang menjulang, menyerupai manusia yang duduk bersila menghadap kiblat, simbol ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Tak ketinggalan, rantai yang terukir di gapura melambangkan ukhuwah islamiyah—sebuah pesan agar umat Islam senantiasa menjaga persatuan dan tidak tercerai-berai.
Semua keindahan ini membuat Masjid Agung Keraton Sumenep lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah warisan sejarah, mahakarya arsitektur, dan saksi dari harmoni budaya yang telah bertahan berabad-abad lamanya. Maka, tunggu apa lagi? Inilah saatnya untuk merasakan sendiri pengalaman wisata religi yang sarat makna. Ramadan menjadi momentum yang tepat untuk mengunjungi masjid ini—bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk meresapi jejak sejarah dan merasakan kehangatan tradisi yang masih hidup hingga hari ini.