Hilirisasi mineral kritis telah menjadi kebijakan strategis Pemerintah Indonesia dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat. Program ini juga selaras dengan upaya global untuk memanfaatkan teknologi ramah lingkungan.
Mineral kritis sendiri adalah sumber daya mineral yang perannya sangat vital dalam perekonomian, namun keberadaannya terancam oleh gangguan pasokan karena alasan strategis atau keamanan nasional. Hal ini membuat elemen-elemen bumi tersebut semakin diburu dan menjadi sumber daya yang langka.
Lewat program hilirisasi, Indonesia tidak hanya meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal, tetapi juga berhasil menarik investasi besar, mendorong ekspor, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mencontohkan hilirisasi nikel yang berhasil meningkatkan nilai ekspor delapan kali lipat dari USD 4,31 miliar pada 2017 menjadi USD 34,44 miliar pada 2023.
Tak hanya itu, menurut data Kementerian Investasi/BKPM, investasi di sektor hilirisasi nikel—terutama untuk pembangunan smelter dan pabrik baterai kendaraan listrik—telah mencapai USD 30 miliar hingga pertengahan 2024. Ini menjadi pijakan kuat bagi Indonesia untuk bersaing di pasar global, khususnya dalam mendukung produksi baterai kendaraan listrik yang kini menjadi primadona dalam transisi energi global.
Dengan kapasitas produksi baterai EV yang bisa mencapai 210 GWh per tahun, Indonesia siap menjadi pemain kunci di pasar ini. Kekayaan sumber daya nikel yang melimpah menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis dalam rantai pasok mineral kritis, bahkan beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Australia sudah mulai menjajaki kerja sama di sektor ini.
Neo Energy, salah satu pelaku industri di sektor ini, telah merealisasikan investasi dengan membangun smelter High-Pressure Acid Leaching (HPAL) pertama di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan energi terbarukan. Smelter ini akan mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan penting untuk katoda baterai kendaraan listrik. Proyek HPAL ini diharapkan bisa menambah kapasitas MHP nasional hingga 120 ribu MT per tahun, sekaligus menciptakan kawasan industri yang sepenuhnya menggunakan energi hijau.
Kawasan industri Neo Energy Morowali Industrial Estate (NEMIE) telah dirancang sebagai pusat pengolahan mineral berbasis energi terbarukan di Indonesia. Ini menjadi bukti konkret bahwa industri pertambangan dan pengolahan mineral di Indonesia bisa bertransformasi menuju nol emisi, sejalan dengan target pemerintah dalam menurunkan emisi karbon.
Dengan momentum hilirisasi ini, Indonesia tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga memposisikan diri sebagai pemimpin dalam transformasi energi bersih di sektor industri mineral kritis. Manfaat ekonominya, mulai dari peningkatan PDRB hingga pertumbuhan industri lokal, menjadikan inisiatif ini sebagai langkah strategis menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.