Aroma harum kopi tanpa gula yang disajikan dalam gelas kaca di sebuah kedai kecil bernama Ecovil, kawasan kaki Gunung Kamojang, Kabupaten Bandung, seolah menyapa setiap pengunjung dengan cerita unik di baliknya. Kopi itu bernama Canaya — nama yang terdengar khas Sunda, tapi ternyata bukan nama orang, melainkan merek kopi hasil inovasi anak muda lokal, Moh Ramdan Reza, atau yang akrab disapa Deden. Pria berusia 34 tahun ini telah mendedikasikan hidupnya untuk dunia kopi, dengan semangat membawa cita rasa lokal menuju panggung dunia.
Yang membuat Kopi Canaya begitu istimewa bukan sekadar rasanya, melainkan cara pengolahannya yang revolusioner. Deden memanfaatkan uap panas buangan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal) untuk mengeringkan biji kopi — sebuah metode yang disebut Geothermal Coffee Process (GCP). Proses ini menjadi yang pertama di dunia, dan hanya bisa dilakukan di sekitar fasilitas PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, tempat sumber panas bumi tersedia melimpah.
Metode ini lahir dari program CSR PT PGE yang dimulai pada tahun 2018, dan kini menjelma menjadi inovasi kopi ramah lingkungan yang menarik perhatian dunia. Sejak 2023, Kopi Canaya mulai dipromosikan sebagai kopi unggulan yang siap bersaing dengan produk sejenis, terutama karena pengeringannya tidak bergantung pada panas matahari seperti kebanyakan kopi lain, melainkan memanfaatkan energi panas bumi yang lebih stabil dan terkontrol.
Dalam keterangannya, Rabu (24/9/2025), Deden mengatakan bahwa Kopi Canaya kini sudah merambah pasar ekspor, khususnya Jerman dan Jepang, dengan daya tarik utama pada keunikan proses pengeringannya yang belum ada di dunia. Nama “Canaya” sendiri diambil dari bahasa Sunda: can berarti “belum”, dan aya berarti “ada” — secara harfiah berarti “belum ada”. Sebuah simbol bahwa kopi dengan metode geotermal ini memang belum pernah ada sebelumnya. “Saya sendiri yang menamai Canaya, karena belum ada kopi lain di dunia yang diolah dengan panas bumi,” ujarnya bangga.
Keunikan ini terbukti menarik minat pasar internasional. Dalam ajang World of Coffee (WoC) Jakarta 2025, pameran kopi terbesar dunia yang untuk pertama kalinya digelar di Indonesia, Kopi Canaya berhasil mencuri perhatian para pelaku bisnis global. Pebisnis dari Jerman, Korea Selatan, Arab Saudi, hingga Kolombia tertarik melihat langsung lokasi pengolahannya di Kamojang. Dari ajang itu, Deden berhasil mendapatkan permintaan ekspor 10 ton kopi dari Jerman dan 5 ton dari Jepang, dengan harga mencapai Rp450 ribu per kilogram untuk kopi siap saji.
Meski begitu, Deden masih menghadapi keterbatasan modal. Saat ini, kapasitas produksi pengeringan geotermalnya baru mampu menghasilkan sekitar 20 ton per musim panen, sementara permintaan pasar bisa mencapai 40–50 ton. Padahal, potensi bahan bakunya sangat besar — dari lahan kopi arabika seluas 225 hektare di Kamojang, bisa dihasilkan hingga 1.500 ton ceri kopi setiap tahun. “Kami baru bisa menyerap sekitar 15 persen, padahal permintaan sangat tinggi,” jelasnya.
Namun, Deden tetap optimistis. Ia yakin metode pengeringan berbasis panas bumi ini tidak hanya memberi nilai tambah secara ekonomi, tetapi juga menjadi langkah konkret menuju industri kopi berkelanjutan. Dibandingkan dengan pengeringan konvensional yang bergantung pada sinar matahari—yang panasnya tidak selalu konsisten—metode geotermal mampu mengontrol suhu dan waktu pengeringan lebih presisi. Hasilnya, rasa kopi lebih stabil dan konsisten. Jika pengeringan biasa memakan waktu hingga satu bulan, di Kamojang prosesnya bisa selesai dalam 8–10 hari saja.
“Setiap kopi punya karakter rasa sendiri, tapi konsistensi adalah kuncinya. Kalau pembeli datang lagi dan lagi, berarti cita rasa kopi kita sudah terbukti,” tutur Deden penuh semangat.
Dari sisi perusahaan, Community Development Officer PGE Kamojang, Reyhana Rashellasida, menyebut bahwa ekspor perdana Kopi Canaya ke Jerman dan Jepang telah menunjukkan bahwa produk ini sudah memenuhi standar global. Bahkan, inovasi pengeringan geotermal ini telah resmi mendapat Sertifikat Paten Sederhana dari Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2024.


