Kabar membanggakan datang dari ranah konservasi: Indonesia kembali mencetak prestasi di kancah global lewat penetapan dua taman bumi nasional—Geopark Kebumen di Jawa Tengah dan Geopark Meratus di Kalimantan Selatan—sebagai bagian dari UNESCO Global Geoparks (UGGp). Pengakuan ini diumumkan dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO ke-221 di Paris, April 2025. Artinya, Indonesia kini punya 12 geopark yang telah diakui dunia. Ini bukan hanya soal jumlah, tapi juga bukti bahwa Indonesia memang layak menyandang predikat sebagai negara dengan keanekaragaman hayati dan geologis luar biasa.
Namun, di balik euforia ini, ada tanggung jawab besar yang tak boleh diabaikan. Pengakuan internasional semestinya menjadi cambuk semangat untuk terus menjaga dan merawat warisan bumi yang tak ternilai ini. Seperti yang disampaikan Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Mohamad Oemar, ini adalah bukti bahwa Indonesia berperan aktif dalam menjaga kekayaan alam yang punya nilai universal. Dan betul, geopark bukan sekadar objek wisata—ia adalah ruang belajar, konservasi, dan pemberdayaan.
UNESCO Global Geoparks mengusung pendekatan yang menarik: pelestarian berbasis komunitas. Artinya, masyarakat lokal bukan hanya penonton, melainkan aktor utama dalam menjaga keseimbangan alam dan kebudayaan. Konsep ini menjadikan geopark sebagai ruang hidup, bukan museum yang steril. Di situlah kekuatannya—interaksi antara manusia dan alam yang saling menghargai dan memperkuat.
Lihat saja Geopark Meratus. Membentang sepanjang 600 kilometer, pegunungan ini bukan cuma indah dipandang mata, tapi menyimpan cerita geologis dari ratusan juta tahun lalu. Meratus adalah bukti nyata sejarah pergerakan lempeng bumi yang menjadikan Kalimantan Selatan begitu unik. Tak heran jika banyak ahli menyebutnya sebagai laboratorium geologi terbuka.
Tak hanya soal batuan dan formasi alam, Meratus juga menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa: dari anggrek raksasa hingga bekantan dan beruang madu. Bahkan dua spesies burung baru ditemukan di kawasan ini. Menariknya, semua kekayaan ini terjaga berkat peran masyarakat lokal, seperti komunitas Dayak dan Banjar, yang terus mempraktikkan kearifan lokal dalam merawat alam. Ini jadi bukti bahwa pengetahuan tradisional bisa berjalan berdampingan dengan sains modern.
Program-program konservasi pun tak berhenti di tataran wacana. Di Tahura Sultan Adam, masyarakat merawat anggrek lokal. Di Kabupaten Batola, konservasi bekantan bukan hanya menyelamatkan spesies, tapi juga menarik minat wisatawan yang ingin belajar langsung dari alam. Inilah bentuk nyata pembangunan yang tak mengorbankan lingkungan, justru menjadikannya poros utama.
Sementara itu, Geopark Kebumen tak kalah menarik. Kawasan ini menjadi saksi bisu pertemuan batuan samudra dan benua jutaan tahun silam. Situs seperti Karangsambung dan Rijang Merah memukau siapa pun yang memandang—baik wisatawan awam maupun peneliti geologi. Tak heran kalau Kebumen dijuluki sebagai “Mother of Earth”.
Lebih dari itu, Kebumen juga kaya akan lanskap karst, fosil purba, dan budaya lokal yang hidup. Dari kerajinan tangan, tradisi masyarakat, sampai kuliner khas, semuanya menjadi bagian dari narasi geopark yang utuh. Dengan mencakup 22 kecamatan, Geopark Kebumen bukan hanya ruang konservasi tapi juga laboratorium sosial—di mana ekonomi lokal bisa tumbuh tanpa mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Apa yang terjadi di Meratus dan Kebumen adalah bukti bahwa pelestarian bisa berjalan seiring dengan pembangunan. Asalkan ada keseriusan dalam pengelolaan dan keterlibatan aktif masyarakat, kekayaan alam ini bisa menjadi warisan yang lestari bagi generasi mendatang. Seperti dikatakan Dirjen UNESCO Audrey Azoulay, geopark adalah mercusuar pembangunan berkelanjutan—dan Indonesia, kini, memegang lentera itu dengan penuh harapan.
Melalui geopark, kita belajar bahwa alam bukan hanya tempat tinggal, melainkan bagian dari identitas. Setiap batuan, setiap lekuk gunung, setiap tradisi yang hidup di sekitarnya, adalah narasi panjang tentang bagaimana manusia dan bumi bisa hidup berdampingan. Pengakuan UNESCO adalah awal dari perjalanan panjang menjaga bumi, dan Indonesia, dengan segala kekayaannya, punya semua modal untuk jadi pemimpin dalam hal ini.