Setiap 17 Mei, kita memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas)—sebuah momentum yang tak hanya mengajak kita merayakan buku, tetapi juga merenungkan tantangan besar yang masih dihadapi bangsa ini: rendahnya tingkat literasi di banyak wilayah Indonesia. Tahun 2025 ini, semangat Harbuknas kembali digaungkan oleh berbagai pemerintah daerah lewat beragam kegiatan kreatif untuk menanamkan pentingnya budaya membaca sejak usia dini. Namun di balik semua semarak itu, ada catatan penting yang tak boleh diabaikan: masih tingginya kesenjangan literasi antarwilayah di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tercatat ada sepuluh provinsi dengan skor Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) di bawah 63,00—sebuah angka yang menandakan bahwa upaya membudayakan literasi masih perlu kerja keras di daerah-daerah tersebut. Provinsi seperti Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan bahkan mencatat skor di bawah 50, menunjukkan tantangan serius di kawasan timur Indonesia. Fakta ini menyiratkan bahwa meski secara nasional Indonesia telah mencapai skor literasi tinggi, distribusi kualitasnya masih jauh dari merata.
Di sisi lain, sejumlah provinsi berhasil mencatatkan skor IPLM di atas 80—seperti Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur—menjadi bukti bahwa investasi serius dalam literasi bisa menghasilkan capaian luar biasa. Tapi, perbedaan yang kontras ini harus menjadi panggilan bagi semua pihak untuk membangun sinergi, antara pemerintah pusat dan daerah, juga melibatkan masyarakat sipil dan swasta, untuk mengejar ketertinggalan di wilayah-wilayah yang masih rendah skornya. Literasi tak bisa tumbuh hanya lewat seremoni; ia butuh kehadiran nyata dan kebijakan yang konsisten.
Menariknya, banyak kabupaten dan kota mulai menunjukkan inisiatif luar biasa. Di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, misalnya, pemerintah daerah mengadakan lomba bertutur untuk anak SD dan MI. Bukan sekadar ajang kompetisi, kegiatan ini menjadi medium untuk menanamkan keterampilan berbicara dan mencintai cerita sejak dini. Dan hasilnya nyata: Pangkep mencatat skor IPLM luar biasa tinggi, yaitu 93,93. Ini adalah bukti bahwa literasi bisa tumbuh kuat jika ditanam sejak akar.
Bergeser ke Pulau Bali, Kabupaten Buleleng dengan skor IPLM 68,46 juga menggelar lomba bertutur. Wakil Bupatinya menekankan bahwa tujuan utama kegiatan ini bukan sekadar mencari juara, tapi membangun rasa percaya diri anak-anak dalam menyampaikan ide. Sebuah pendekatan yang patut diapresiasi karena literasi bukan hanya soal membaca, tapi juga kemampuan berpikir kritis dan mengutarakan gagasan.
Di Kalimantan Barat, Kabupaten Kubu Raya dengan skor IPLM 46,01 menghadirkan lomba bercerita sebagai upaya menyemai semangat membaca di tengah masyarakat. Sementara di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang memiliki skor IPLM 54,94, pemerintah setempat menyelenggarakan pelatihan literasi informasi—hal yang sangat relevan di era banjir data seperti sekarang. Literasi tak lagi cukup hanya membaca dan menulis, tapi juga memilah dan menggunakan informasi secara etis dan cerdas.
Inovasi lainnya muncul dari Gresik yang memperkenalkan ruang baca digital ramah anak (RUBADIRA). Dengan skor IPLM yang masih rendah, yakni 44,46, terobosan seperti ini bisa menjadi langkah awal menuju perubahan. Saat anak-anak sudah akrab dengan gawai, mengisi perangkat digital mereka dengan bahan bacaan yang menarik dan mendidik adalah langkah cerdas. Ajakan Plt. Bupati Gresik agar warga membaca dua buku per bulan adalah dorongan kecil yang bisa berdampak besar jika dilakukan secara masif.
Dari Kalimantan Selatan, Kota Banjarbaru menghadirkan Festival Literasi bertema “Jejak Tokoh, Jejak Literasi.” Kota ini punya skor IPLM 89,32—salah satu yang tertinggi di Indonesia. Kegiatan ini menjadi cara menyemangati masyarakat agar tak hanya membaca, tapi juga menciptakan karya-karya baru. Karena di setiap cerita yang ditulis, ada potensi perubahan sosial yang mengakar.
Provinsi Riau juga punya strategi unik: menggandeng Bunda Literasi dan kader PKK untuk membawa semangat membaca langsung ke rumah-rumah. Skor IPLM-nya sebesar 69,24, dan bisa jadi lebih tinggi bila gerakan literasi berbasis keluarga ini terus diperkuat. Menumbuhkan budaya membaca di lingkungan rumah adalah investasi jangka panjang yang hasilnya mungkin tak langsung terasa, tapi akan sangat menentukan masa depan bangsa.
Sementara itu, Jawa Timur merayakan Pekan Literasi dengan pameran naskah kuno hingga peluncuran Galeri Majapahit. Skor IPLM provinsi ini naik dari 75,18 pada 2023 menjadi 78,60 pada 2024. Ini menunjukkan bahwa konsistensi dalam menggelar program dan memperkaya konten bacaan mampu memberikan hasil nyata. Kepala Disperpusip Jatim pun mengingatkan bahwa literasi bukan hanya soal angka, tapi juga soal akses terhadap koleksi buku yang memadai dan tingginya frekuensi kunjungan ke perpustakaan.
Melihat semua inisiatif ini, kita perlu sepakat bahwa literasi bukan sekadar tanggung jawab dinas perpustakaan atau sekolah. Literasi adalah urusan semua pihak—dari pemerintah, orang tua, guru, hingga komunitas. Seperti kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di setiap halaman buku tersimpan imajinasi dan kreativitas yang harus dirawat. Karena tanpa literasi, kreativitas hanya menjadi potensi yang tak pernah mewujud. Dan seperti dikatakan oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, literasi dan kreativitas adalah fondasi masa depan bangsa.
Jadi, mari kita jadikan Harbuknas lebih dari sekadar peringatan. Jadikan ia pemantik semangat, bahwa menciptakan generasi cerdas dan berdaya adalah tanggung jawab bersama. Membaca buku bukan hal sepele—itu adalah langkah kecil yang bisa mengubah arah hidup seseorang, bahkan wajah bangsa.