Di balik lanskap perbukitan Brebes, Jawa Tengah, tersimpan jejak masa lalu yang mengubah cara kita memahami sejarah peradaban Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Wilayah Bumiayu, yang kini dikenal dengan sawah dan pegunungannya, ternyata pernah menjadi rumah bagi kehidupan purbakala sejak zaman Pleistosen awal, jutaan tahun lalu. Bukti sejarah itu terpahat dalam berbagai fosil yang ditemukan di sana, termasuk fosil manusia purba Homo Erectus, yang menjadi petunjuk penting dalam rekonstruksi perjalanan evolusi manusia di kepulauan ini.
Namun, bukan hanya manusia purba yang meninggalkan jejak di tanah Bumiayu. Beragam fosil hewan vertebrata juga ditemukan, mulai dari gajah purba Sinomastodon bumiayuensis, Stegodon trigonochepalus, hingga Stegodon pigmy yang berukuran lebih kecil. Selain itu, ada pula fosil hewan darat seperti badak, kuda nil, monyet Macaca, buaya, harimau Panthera, serta anjing liar Canis. Tidak ketinggalan, fosil berbagai spesies ikan seperti hiu dan pari, serta fosil moluska seperti siput, kepiting, dan kerang, semakin menguatkan dugaan bahwa Bumiayu di masa lalu bukanlah daratan seperti sekarang, melainkan sebuah wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan laut.
Temuan ini semakin menarik ketika tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) turun langsung ke Situs Bumiayu pada tahun 2023. Dari penelitian yang mereka lakukan, disimpulkan bahwa kawasan ini dahulu merupakan pantai di sisi timur Pulau Jawa. Laut membentang luas di sebelahnya, dihiasi oleh gunung-gunung api purba yang menjadi saksi bisu dinamika geologi di masa lampau. Salah satu geosite utama berada di Desa Bantarwaru, Kecamatan Bantarkawung, di mana jejak garis pantai yang terbentuk dua juta tahun lalu masih dapat ditelusuri melalui endapan fosil yang tersebar di tepian sungai.
Penelitian terhadap Situs Bumiayu terus berlanjut hingga kini, dengan ekskavasi yang dilakukan secara bertahap. BRIN menjadikan kawasan ini sebagai laboratorium alam untuk menelusuri lebih dalam sejarah evolusi manusia, lingkungan, dan budaya di Nusantara. Mengapa penelitian ini begitu penting? Karena temuan-temuan dari Bumiayu berpotensi menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana manusia purba bertahan hidup dan beradaptasi di tengah perubahan lingkungan di masa lalu.
Untuk mendukung riset ini, BRIN bahkan membangun infrastruktur Kawasan Stasiun Lapangan Ekskavasi Arkeologi di Dusun Maribaya, Desa Kalinusu. Fasilitas ini akan menjadi pusat penelitian arkeologi pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan teknologi mutakhir, laboratorium lapangan, serta akomodasi bagi periset dan mahasiswa. Langkah ini merupakan bagian dari strategi BRIN dalam mencetak talenta arkeologi unggul yang mampu berkontribusi dalam kajian sejarah global.
Menurut Sofwan Noerwidi, Kepala Pusat Riset Arkeometri BRIN sekaligus project manager riset ini, penelitian di Situs Bumiayu sudah berlangsung sejak era 1920-an dan terus berkembang. Bukti-bukti baru yang muncul menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki sejarah yang jauh lebih tua dari yang sebelumnya diperkirakan, mencapai awal Pleistosen sekitar dua juta tahun lalu. Oleh karena itu, BRIN hadir untuk mengelaborasi penelitian terdahulu sekaligus menggali fakta-fakta baru yang bisa memberikan wawasan lebih luas tentang evolusi manusia dan budaya di Nusantara.
Riset di kawasan ini diproyeksikan akan berlangsung selama lima hingga tujuh tahun. Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara, berharap bahwa dalam rentang waktu tersebut akan ditemukan bukti-bukti arkeologis yang lebih mendalam, khususnya terkait evolusi manusia. Lebih dari itu, penelitian ini juga diharapkan mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari kajian pengaruh budaya Hindu-Buddha di masa klasik, hingga aspek sosial humaniora seperti sejarah, manuskrip, tradisi lisan, dan bahasa. Mengingat Bumiayu berada di perbatasan antara budaya Jawa dan Sunda, riset terhadap warisan budaya di kawasan ini tentu akan memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang perjalanan sejarah masyarakat di Pulau Jawa.
Selain fokus pada penelitian, BRIN juga serius dalam membangun infrastruktur yang mendukung riset jangka panjang di Bumiayu. Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN, Iman Hidayat, menjelaskan bahwa pembangunan Stasiun Lapangan Ekskavasi ini adalah yang pertama di Indonesia dan dirancang dengan fasilitas lengkap. Jalan sepanjang 3,8 kilometer menuju lokasi penelitian telah dibangun untuk memudahkan akses bagi para peneliti sekaligus meningkatkan konektivitas bagi masyarakat sekitar.
Fasilitas penelitian ini tidak hanya menjadi tempat ekskavasi semata, tetapi juga dirancang sebagai pusat edukasi dan kolaborasi ilmiah. Dilengkapi dengan ruang kelas, laboratorium, dan storage untuk menyimpan temuan fosil, stasiun ini akan menjadi rumah bagi para arkeolog yang bekerja di lapangan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengan konsep terpadu seperti ini, diharapkan budaya riset di Indonesia semakin berkembang dan menghasilkan temuan-temuan yang berdampak global.
Penelitian di Bumiayu bukan sekadar menggali fosil atau mengungkap masa lalu yang telah lama terkubur. Lebih dari itu, proyek ini adalah langkah besar dalam memahami sejarah peradaban di Nusantara dan bagaimana manusia serta lingkungannya saling berinteraksi sejak jutaan tahun lalu. Siapa tahu, di balik lapisan tanah yang masih tersembunyi, ada lebih banyak kisah yang menunggu untuk diceritakan.