Selama lima tahun berturut-turut, Indonesia terus mencatatkan surplus perdagangan dari ekspor nonmigas. Tahun 2024 saja, surplus perdagangan mencapai USD31,04 miliar, di mana sektor nonmigas menjadi penyumbang utama dengan angka USD51,44 miliar. Namun, sektor migas justru mencatat defisit sebesar USD20,40 miliar, yang sedikit mengurangi pencapaian positif tersebut.
Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan bahwa surplus nonmigas Indonesia pada 2024 ditopang oleh perdagangan dengan beberapa mitra dagang utama. Amerika Serikat menjadi kontributor terbesar dengan surplus USD16,84 miliar, disusul India dengan USD15,39 miliar, Filipina USD8,85 miliar, Malaysia USD4,13 miliar, dan Jepang USD3,71 miliar. Fakta ini menegaskan bahwa ekspor Indonesia tetap kompetitif di pasar global, meskipun ada tantangan dari ketidakpastian ekonomi dunia.
Jika melihat tren bulanan, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2024 masih mencatat surplus sebesar USD2,24 miliar, melanjutkan tren positif selama 56 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus ini didorong oleh sektor nonmigas yang menyumbang USD4,00 miliar, sementara sektor migas mengalami defisit sebesar USD1,76 miliar. Tren ini menunjukkan betapa kuatnya kinerja ekspor nonmigas, meski sektor migas masih menjadi tantangan yang harus diatasi.
Dari sisi sektor, ekspor pertanian mengalami lonjakan signifikan dengan kenaikan 29,81 persen dibanding tahun sebelumnya, diikuti oleh industri yang tumbuh 5,33 persen. Namun, ekspor sektor pertambangan justru mengalami penurunan 10,20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada ekspor komoditas mentah semakin berkurang, dan Indonesia mulai bergerak menuju ekspor produk bernilai tambah yang lebih stabil dan menguntungkan.
Beberapa produk ekspor nonmigas dengan pertumbuhan tertinggi pada 2024 meliputi kakao dan olahannya yang naik hingga 118,63 persen, barang dari besi dan baja melonjak 101,10 persen, serta aluminium yang tumbuh 70,07 persen. Selain itu, ekspor kopi, teh, dan rempah-rempah meningkat 67,27 persen, sementara tembaga mengalami kenaikan 51,11 persen. Kenaikan ekspor produk olahan ini mencerminkan keberhasilan strategi hilirisasi yang digenjot pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Di sisi pasar tujuan, tiga raksasa ekonomi dunia—Tiongkok, Amerika Serikat, dan India—masih menjadi pelanggan utama produk Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai USD106,86 miliar atau setara dengan 42,94 persen dari total ekspor nonmigas nasional. Menariknya, ekspor Indonesia ke Australia mencatat lonjakan tertinggi sebesar 60,58 persen, disusul Rusia 44,04 persen, Brasil 34,84 persen, Turki 25,97 persen, dan Vietnam 25,04 persen. Data ini menunjukkan bahwa diversifikasi pasar ekspor mulai membuahkan hasil, mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu dan meningkatkan ketahanan perdagangan Indonesia terhadap gejolak ekonomi global.
Melihat tren positif ini, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis dengan menerbitkan kebijakan penyimpanan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025. Aturan ini diumumkan langsung di Istana Merdeka pada 17 Februari 2025 dan bertujuan untuk memperkuat dampak ekonomi dari pengelolaan devisa hasil ekspor, sekaligus meningkatkan stabilitas moneter nasional.
Dalam kebijakan ini, eksportir sektor pertambangan (kecuali migas), perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan menempatkan 100 persen DHE SDA dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan di rekening khusus di bank nasional. Sementara untuk sektor migas, ketentuannya tetap mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2023. Dengan aturan ini, pemerintah memperkirakan tambahan devisa hasil ekspor sebesar USD80 miliar pada 2025. Jika kebijakan ini berjalan optimal selama setahun penuh, angka tersebut bisa melampaui USD100 miliar.
Meski mewajibkan penyimpanan devisa di dalam negeri, pemerintah tetap memberikan fleksibilitas bagi eksportir dalam penggunaannya. DHE SDA dapat ditukar ke rupiah untuk operasional bisnis, digunakan untuk membayar pajak, penerimaan negara bukan pajak, hingga pembayaran dividen dalam bentuk valuta asing. Selain itu, devisa yang tersimpan juga dapat digunakan untuk pengadaan barang dan jasa yang belum tersedia di dalam negeri, maupun untuk pembayaran pinjaman yang terkait dengan pengadaan barang modal dalam bentuk valuta asing.
Bagi eksportir yang tidak mematuhi aturan ini, pemerintah telah menyiapkan sanksi berupa penangguhan layanan ekspor. Presiden Prabowo menegaskan bahwa aturan ini mulai berlaku pada 1 Maret 2025 dan akan terus dievaluasi untuk memastikan efektivitasnya terhadap perekonomian nasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan bahwa DHE SDA juga dapat dijadikan agunan kredit. Dengan memenuhi persyaratan tertentu, DHE ini dapat dikecualikan dari ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun akan mengeluarkan regulasi khusus untuk memastikan mekanisme pemanfaatan DHE sebagai agunan berjalan dengan baik di perbankan nasional.
Dalam mendukung implementasi kebijakan ini, Bank Indonesia (BI) juga bersiap dengan instrumen baru untuk menampung DHE yang diwajibkan pemerintah. Selama ini, eksportir yang menyimpan devisanya dalam rekening khusus dapat menempatkannya dalam deposito valas di bank. Kini, BI memperkenalkan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan, yang dapat diperdagangkan di pasar valuta asing dalam negeri.
Dengan berbagai kebijakan ini, pemerintah tidak hanya memastikan dana ekspor tetap berputar di dalam negeri, tetapi juga membuka lebih banyak opsi bagi eksportir dalam mengelola devisanya. Jika kebijakan ini berhasil, bukan hanya cadangan devisa yang meningkat, tetapi juga stabilitas nilai tukar rupiah yang lebih kuat serta sistem keuangan nasional yang lebih resilient menghadapi gejolak global.