Suasana kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta berubah jadi lautan semangat pada Minggu pagi, 25 Mei 2025. Ribuan pelajar dan warga dari berbagai penjuru berkumpul, menyambut kunjungan Premier Tiongkok, Li Qiang. Kunjungan ini bukan sekadar agenda diplomatik biasa, melainkan peringatan 75 tahun hubungan resmi Indonesia–Tiongkok. Sebuah momen bersejarah yang mencerminkan eratnya jalinan kerja sama antara dua negara besar di Asia.
Salah satu pelajar yang antusias hadir adalah Milani, siswi SMPN 60 Jakarta. Bersama teman-temannya, ia sudah bersiap sejak subuh untuk ikut dalam barisan penyambut tamu negara. Perjalanan mereka dari sekolah ke Monas menggunakan Transjakarta terasa istimewa. Tak hanya jadi saksi mata peristiwa penting, mereka juga mengabadikan momen dengan ponsel, penuh rasa bangga. Ini adalah bentuk partisipasi anak muda dalam diplomasi publik, memperkuat jembatan antargenerasi dalam hubungan internasional.
Tak kalah antusias, warga seperti Ibu Viko dari Banjarmasin merasa beruntung bisa menyaksikan langsung upacara penyambutan ini. Menyaksikan iring-iringan kehormatan—dari pasukan motoris, berkuda, hingga pelajar yang melambaikan bendera merah putih dan Tiongkok—menciptakan suasana haru sekaligus membanggakan. Momen ini membuktikan bahwa diplomasi tidak hanya milik para pejabat tinggi, tetapi juga dirasakan hangat oleh masyarakat luas.
Dalam pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo Subianto dan Premier Li Qiang, kedua pemimpin menekankan pentingnya membangun masa depan bersama. Pertemuan ini memperkuat kerja sama di lima sektor strategis: politik, ekonomi, budaya, keamanan, dan diplomasi global. Premier Li pun mengingatkan, selama 75 tahun, kedua bangsa telah bahu-membahu dalam berbagai krisis—dari perjuangan kemerdekaan hingga pandemi. Nilai saling percaya inilah yang menjadi modal utama hubungan kedua negara.
Presiden Prabowo menyoroti bahwa relasi Indonesia dan Tiongkok bukanlah hubungan yang dibentuk semata oleh kepentingan politik sesaat. Ia mengingatkan tentang jejak sejarah pelayaran Laksamana Cheng Ho yang menjadi simbol awal hubungan dua bangsa. Ini adalah warisan historis yang layak dirawat sebagai fondasi kerja sama masa kini dan masa depan.
Di bidang ekonomi, hubungan Indonesia–Tiongkok terbilang sangat strategis. Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dengan nilai perdagangan menembus USD130 miliar pada 2024. Lebih dari itu, Tiongkok juga menjadi investor asing terbesar ketiga dengan realisasi investasi USD8,1 miliar. Angka-angka ini bukan hanya statistik, melainkan bukti nyata dari kepercayaan dan ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan.
Presiden Prabowo memandang, kerja sama ini tak sebatas uang dan proyek, tetapi juga menyangkut transfer teknologi dan pembangunan kapasitas. Proyek seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung hingga pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Batang membuktikan bahwa Indonesia tak hanya menjadi pasar, tapi juga bagian dari rantai nilai teknologi masa depan. Hal ini sangat penting agar Indonesia tidak hanya jadi konsumen teknologi asing, tetapi juga produsen yang kompetitif.
Tak hanya proyek besar, kerja sama sektor teknologi informasi pun ikut diperkuat. Salah satunya lewat penandatanganan nota kesepahaman antara PT SPC, Shanghai Sixmitted Technology, dan PT Zyrexindo Mandiri Buana. Ini menunjukkan bahwa kolaborasi konkret antara perusahaan kedua negara dapat mendorong lahirnya produk teknologi yang lebih terjangkau dan inovatif untuk masyarakat luas.
Indonesia-China Business Reception 2025 turut menjadi panggung lahirnya kerja sama bernilai tinggi. Delapan proyek potensial business-to-business (B2B) tengah dijajaki dengan total nilai mencapai Rp163 triliun. Jika terealisasi, proyek-proyek ini diperkirakan akan membuka lebih dari 25.000 lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Salah satu inisiatif paling menonjol adalah proyek Two Countries Twin Park (TCTP) di KEK Batang dengan nilai investasi sekitar Rp60 triliun. Ini bukti bahwa diplomasi ekonomi punya dampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Namun hubungan strategis ini tidak berhenti di ekonomi saja. Dalam percaturan geopolitik global yang makin kompleks, sinergi Indonesia–Tiongkok memegang peran penting sebagai jangkar stabilitas kawasan. Kolaborasi dua kekuatan besar di Asia—Indonesia sebagai negara demokrasi dengan populasi besar dan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global—dapat menciptakan keseimbangan baru yang lebih adil.
Presiden Prabowo bahkan menyampaikan apresiasi terhadap Tiongkok atas sikap konsistennya dalam mendukung Palestina dan negara-negara berkembang lainnya di forum internasional. Di sini terlihat bahwa kerja sama Indonesia–Tiongkok juga punya wajah kemanusiaan, bukan sekadar urusan untung-rugi bilateral.
Lebih jauh lagi, diplomasi antarbangsa juga diperkuat oleh hubungan antarwarga. Pertukaran pelajar, beasiswa, kerja sama vokasi, serta pendirian pusat budaya dan bahasa Mandarin telah menciptakan jembatan sosial yang kuat. Anak-anak muda yang semula hanya mengenal Tiongkok dari buku pelajaran kini bisa berinteraksi langsung melalui program-program budaya dan pendidikan.
Antusiasme pelajar seperti Milani dan warga seperti Ibu Viko adalah bukti bahwa hubungan antarbangsa punya dimensi emosional dan sosial yang nyata. Mereka bukan hanya penonton dari perjalanan diplomatik, tapi bagian dari narasi besar kerja sama Indonesia–Tiongkok. Dan ketika dua bangsa saling memahami serta berbagi tujuan, masa depan yang damai dan sejahtera bukanlah angan-angan semata—melainkan keniscayaan.