Kemandirian bangsa bukan sekadar slogan kosong—ini adalah kunci bagi Indonesia agar bisa berdiri tegak di tengah tantangan zaman. Ketika suatu negara mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya secara optimal dan berkelanjutan tanpa bergantung pada pihak luar, di situlah letak kekuatannya. Bagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki bonus demografi, kemandirian ini bukan hanya impian, tapi menjadi syarat utama untuk menjaga martabat dan kedaulatan.
Di tengah derasnya arus globalisasi, batas-batas geografis semakin kabur, dan dunia seolah bergerak dalam satu tarikan napas. Tapi justru di tengah derasnya pengaruh asing itulah, Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kemandirian bukan berarti menutup diri dari dunia luar, melainkan mampu bersaing secara sehat sambil tetap memegang teguh identitas dan kepentingan nasional.
Inilah semangat yang kembali ditegaskan dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-117. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Viada Hafid, menggarisbawahi bahwa Indonesia tidak lagi bisa menjadi penonton dalam percaturan global. Kita harus menjadi pemain aktif yang membawa misi, solusi, dan nilai-nilai luhur bangsa ke kancah internasional. Prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif telah menjadi jangkar dalam menghadapi dunia yang makin kompleks dan penuh dinamika.
Di tengah polarisasi dunia yang kian tajam, Indonesia memilih untuk menjadi mitra yang bisa dipercaya—tidak memihak secara buta, tapi aktif membangun jembatan dialog yang produktif. Posisi ini membuat Indonesia semakin dihormati karena tidak hanya membawa kepentingan sendiri, tetapi juga turut menyuarakan kepentingan kolektif dunia. Ini adalah cerminan dari bangsa yang tidak hanya ingin maju, tetapi juga ingin bermakna.
Di sisi domestik, semangat kebangkitan itu tercermin dari langkah-langkah strategis yang diambil dalam 150 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Mereka tak mulai dari atas, tapi dari akar—dari hal-hal paling sederhana dan menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Karena bangsa yang kuat harus dibangun dari pondasi yang kokoh: perut yang kenyang, tubuh yang sehat, dan hati yang lapang.
Program Makan Bergizi Gratis yang telah menjangkau lebih dari 3,5 juta anak adalah contoh nyata bahwa pembangunan bisa dimulai dari meja makan. Anak-anak yang cukup gizi tidak hanya sehat secara fisik, tapi juga lebih siap menyerap ilmu dan tumbuh menjadi generasi unggul. Begitu juga dengan program pemeriksaan kesehatan gratis yang sudah dinikmati ratusan ribu orang—itu bukan hanya soal medis, tapi soal rasa aman. Bahwa siapa pun, tanpa memandang latar belakang, berhak mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Pemanfaatan teknologi digital semakin mempercepat dan memperluas jangkauan layanan. Konsultasi dokter kini bisa diakses hanya lewat ponsel, menjadikan pelayanan kesehatan lebih inklusif dan efisien. Inilah bukti bahwa digitalisasi, jika dimanfaatkan dengan benar, dapat menjadi jembatan menuju keadilan sosial.
Dari sisi ekonomi, pembentukan Danantara Investment Agency menjadi langkah penting dalam mengelola kekayaan negara secara lebih strategis. Lembaga ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan yang merata dan memperkuat pilar kemandirian ekonomi nasional. Ketika kekayaan negara dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pembangunan menjadi lebih berkeadilan.
Di bidang pengembangan sumber daya manusia, pemerintah bergerak cepat. Pusat pelatihan vokasi dan program penguatan talenta digital terus dikembangkan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang siap bersaing di era digital. Bahkan, pusat kecerdasan buatan (AI Centre of Excellence) akan dibangun di Papua, sebagai simbol bahwa kemajuan teknologi juga harus merata hingga ke wilayah terjauh sekalipun.
Di sisi lain, ruang digital yang aman untuk anak-anak pun menjadi perhatian serius. Melalui PP TUNAS, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem digital yang mendidik dan melindungi, agar generasi masa depan tumbuh dalam lingkungan yang positif.
Semua kebijakan ini berpijak pada satu komitmen besar: bahwa masa depan Indonesia harus lebih baik dan lebih berpihak pada rakyat. Dalam semangat itu, Asta Cita ditetapkan sebagai kompas utama yang mengarahkan semua langkah kebijakan menuju kemajuan yang inklusif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengingatkan pentingnya kita belajar dari semangat para pendiri bangsa. Di tengah dunia yang penuh gejolak dan persaingan global, kita tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan luar. Indonesia harus memperkuat kedaulatan ekonominya—mulai dari ketahanan pangan dan energi, penguatan SDM, hingga pertahanan nasional yang tangguh.
Hilirisasi sumber daya alam menjadi fokus utama agar Indonesia tak lagi hanya menjual bahan mentah, tapi bisa menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi. Ini akan membuka lapangan kerja, menarik investasi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di bidang STEM, menjadi salah satu cara untuk mempercepat kemajuan.
Tak hanya itu, pemerataan layanan kesehatan dan penguatan perlindungan sosial juga menjadi prioritas, agar tak ada satu pun warga yang tertinggal. Program makan bergizi untuk anak dan ibu hamil, serta sekolah rakyat untuk anak-anak tidak mampu, adalah bukti nyata bahwa negara hadir untuk semua.
Di akar rumput, penguatan UKM, koperasi, serta petani dan nelayan terus dilakukan. Mereka inilah tulang punggung ekonomi nasional. Ketika mereka diperhatikan, maka ketimpangan ekonomi bisa dikurangi dan stabilitas sosial dapat dijaga.
Semua ini adalah bagian dari komitmen pemerintahan saat ini, yang berjanji tak hanya akan pandai berkata, tapi juga giat bekerja. Dalam waktu singkat, berbagai capaian sudah terlihat, dari layanan kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur. Tentu masih ada kekurangan, namun semangat gotong royong dan kesediaan untuk ikut terlibat adalah kunci agar mimpi besar ini bisa terwujud.