Ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Se-Tanah Papua yang berlangsung pada 19–21 November 2024 menjadi momentum penting untuk mencetak generasi muda sebagai penjaga bahasa ibu di wilayah Papua. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo, dalam sambutannya pada pembukaan acara, Rabu (20/11), menegaskan pentingnya peran FTBI sebagai upaya nyata revitalisasi bahasa daerah sekaligus apresiasi kepada siswa, guru, dan komunitas kebahasaan yang berkomitmen melestarikan warisan linguistik Papua.
“FTBI bukan sekadar ajang lomba, melainkan wujud konkret dari kerja sama antara Kemendikdasmen dan pemerintah daerah dalam menjaga eksistensi bahasa ibu,” ujar Imam. Ia juga menambahkan, pelestarian ini harus selaras dengan perkembangan zaman. “Bahasa daerah perlu dikembangkan melalui platform teknologi modern, agar generasi muda Papua terinspirasi untuk melestarikannya dengan cara-cara kreatif,” imbuhnya.
Sepuluh Bahasa Daerah, Satu Tujuan Besar
Dalam laporannya, Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua, Sukardi Gau, menyampaikan bahwa tahun 2024 pihaknya telah merevitalisasi sepuluh bahasa daerah di Papua, termasuk bahasa Tobati, Sentani, Sobei, dan Biak. Upaya ini menunjukkan komitmen serius untuk memastikan bahasa-bahasa daerah tidak hanya terjaga tetapi juga berkembang di tengah ancaman kepunahan. Namun, revitalisasi saja tidak cukup; dukungan dari masyarakat dan keberlanjutan program menjadi kunci sukses jangka panjang.
Aksi Kreatif Generasi Muda Papua
FTBI tahun ini diramaikan oleh 60 siswa yang disebut sebagai “tunas bahasa ibu” dari sembilan kabupaten dan satu kota di Papua. Mereka berkompetisi dalam berbagai kategori seperti menulis dan membaca puisi, mendongeng, pidato (untuk SD), serta menulis cerpen, nyanyian rakyat, dan komedi tunggal (untuk SMP). Beragam penampilan mereka tidak hanya memukau penonton, tetapi juga memperlihatkan betapa kayanya kreativitas generasi muda Papua.
Misalnya, Jill Holly Gabrila Motty dari Kabupaten Sarmi membawakan nyanyian rakyat berjudul “Biro Rara Rani” dalam bahasa Sobei, yang menceritakan kerinduan seorang anak terhadap orang tua yang tinggal berjauhan. “Saya senang menyanyi. Ini pengalaman pertama saya di FTBI, semoga hasilnya maksimal,” ujar Jill penuh harapan.
Tak kalah menarik, Roman Ramandey dari SMPN 9 Jayapura berhasil mengocok perut penonton lewat komedi tunggal berbahasa Tobati yang mengisahkan siswa sekolah yang tidak mengetahui siapa penanda tangan Proklamasi Kemerdekaan RI. “Tahun lalu saya gagal di tingkat provinsi, tapi kali ini saya optimis bisa melaju ke tingkat nasional,” kata Roman penuh semangat.
Bahasa Ibu, Jati Diri Papua
Perwakilan Gubernur Papua, John Wicklif Tegai, menyampaikan bahwa bahasa ibu adalah identitas yang harus dihormati. “Bahasa adalah karya seni leluhur kita. Tidak melestarikannya sama dengan tidak menghormati mereka. Melalui FTBI, mari hidupkan kembali semangat untuk menjadikan bahasa ibu sebagai warisan budaya yang terus bernyawa,” tegasnya. Pernyataan ini memperkuat argumen bahwa menjaga bahasa daerah bukan sekadar tugas, tetapi juga bentuk penghormatan kepada sejarah.
Dukungan Berkelanjutan untuk Talenta Muda
Rangkaian acara ditutup oleh Kepala Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) Kemendikdasmen, Maria Veronica Irene Herdjiono, yang menyebut para peserta FTBI 2024 sebagai talenta muda yang harus didukung dan diberi ruang untuk berkembang. “Mereka adalah masa depan literasi kebahasaan Indonesia. Kita harus terus mendampingi mereka agar lahir generasi yang unggul,” ujarnya.
Sebagai apresiasi, semua peserta FTBI Papua 2024 menerima penghargaan berupa uang pembinaan, dan 30 peserta terbaik akan melanjutkan perjuangan mereka di tingkat nasional pada tahun 2025 di Jakarta. Dengan semangat ini, generasi muda Papua tidak hanya menjaga bahasa ibu, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa Papua memiliki talenta luar biasa yang siap mengharumkan nama daerah dan bangsa.